Jumat, 17 Februari 2012

Sandarkan pada Allah Semata, Titik!



 

  Oleh: Ali Akbar Bin Agil  

TIADA keberuntungan yang sangat besar dalam hidup ini, kecuali orang yang tidak memiliki sandaran, selain bersandar kepada Allah. Dengan meyakini bahwa memang Allah-lah yang menguasai segala-galanya; mutlak, tidak ada satu celah pun yang luput dari kekuasaan Allah, tidak ada satu noktah sekecil apapun yang luput dari genggaman Allah. Total, sempurna, segala-galanya Allah yang membuat, Allah yang mengurus, Allah yang menguasai.

Adapun kita, manusia, diberi kebebasan untuk memilih, "Faalhamaha fujuraha wataqwaaha".
"Dan sudah diilhamkan di hati manusia untuk memilih mana kebaikan dan mana keburukan". Potensi baik dan potensi buruk telah diberikan, kita tinggal memilih mana yang akan kita kembangkan dalam hidup ini. Oleh karena itu, jangan salahkan siapapun andaikata kita termasuk berkelakuan buruk dan terpuruk, kecuali dirinyalah yang memilih menjadi buruk, naudzubillah.

Sedangkan keberuntungan bagi orang-orang yang bersandarnya kepada Allah mengakibatkan dunia ini, atau siapapun, terlampau kecil untuk menjadi sandaran baginya. Sebab, seseorang yang bersandar pada sebuah tiang akan sangat takut tiangnya diambil, karena dia akan terguling, akan terjatuh. Bersandar kepada sebuah kursi, takut kursinya diambil. Begitulah orang-orang yang panik dalam kehidupan ini karena dia bersandar kepada kedudukannya, bersandar kepada hartanya, bersandar kepada penghasilannya, bersandar kepada kekuatan fisiknya, bersandar kepada depositonya, atau sandaran-sandaran yang lainnya.

Alkisah, ada seorang dosen ternama di Surabaya yang memiliki seorang istri dan tiga orang anak. Saat itu, posisi karir sedang naik. Semua fasilitas dimilikinya. Jabatan, fasilitas dan kelebihan lainnya.

Tapi takdir menentukan lain. Allah memanggilnya di usia muda. Saat itu pula perubahan besar terjadi pada keluarganya. Sang istri terpaksa merangkap tanggungjawab. Menjadi ibu, sekaligus menjadi “ayah” untuk menafkahi ketiga anaknya. Sedang si anak mengalami “kekagetan” luar biasa. Dari awal yang dimanja fasilitas, kini, mereka semua harus memulainya dari nol. Sesuatu yang maha berat.

“Seolah hancur harapanku ketika orang yang menjadi sandaran hidupku telah tiada lagi, “ begitu ujar sang istri.

Padahal, semua yang kita sandari sangat mudah bagi Allah, atau akan ‘sangat mudah sekali’ bagi Allah mengambil apa saja yang kita sandari. Namun, andaikata kita hanya bersandar kepada Allah yang menguasai setiap kejadian, "laa khaufun alaihim walahum yahjanun’, kita tidak pernah akan panik, Insya Allah. Jabatan diambil, tak masalah, karena jaminan dari Allah tidak tergantung jabatan, kedudukan di kantor, di kampus, tapi kedudukan itu malah memperbudak diri kita, bahkan tidak jarang menjerumuskan dan menghinakan kita. kita lihat banyak orang terpuruk hina karena jabatannya. Maka, kalau kita bergantung pada kedudukan atau jabatan, kita akan takut kehilangannya. Akibatnya, kita akan berusaha mati-matian untuk mengamankannya dan terkadang sikap kita jadi jauh dari kearifan.

Tapi bagi orang yang bersandar kepada Allah dengan ikhlas, ia hanya mengatakan, “Ya silahkan ... buat apa bagi saya jabatan, kalau jabatan itu tidak mendekatkan kepada Allah, tidak membuat saya terhormat dalam pandangan Allah.”
Tak masalah jabatan kita kecil dalam pandangan manusia, tapi besar dalam pandangan Allah karena kita dapat mempertanggungjawabkannya. Tidak apa-apa kita tidak mendapatkan pujian, penghormatan dari makhluk, tapi mendapat penghormatan yang besar dari Allah SWT. Percayalah walaupun kita punya gaji 10 juta, tidak sulit bagi Allah sehingga kita punya kebutuhan 12 juta. Kita punya gaji 15 juta, tapi apa artinya jika Allah memberi penyakit seharga 16 juta, sudah tekor itu.

Oleh karena itu, jangan bersandar kepada gaji atau pula bersandar kepada tabungan. Punya tabungan uang, mudah bagi Allah untuk mengambilnya. Cukup saja dibuat urusan sehingga kita harus mengganti dan lebih besar dari tabungan kita. Demi Allah, tidak ada yang harus kita gantungi selain hanya Allah saja. Punya bapak seorang pejabat, punya kekuasaan, mudah bagi Allah untuk memberikan penyakit yang membuat bapak kita tidak bisa melakukan apapun, sehingga jabatannya harus segera digantikan.

Punya suami gagah perkasa. Begitu kokohnya, lalu kita merasa aman dengan bersandar kepadanya, apa sulitnya bagi Allah membuat sang suami muntaber, akan sangat sulit berkelahi atau beladiri dalam keadaan muntaber. Atau Allah mengirimkan nyamuk Aides Aigepty betina, lalu menggigitnya sehingga terjangkit demam berdarah, maka lemahlah dirinya. Jangankan untuk membela orang lain, membela dirinya sendiri juga sudah sulit, walaupun ia seorang jago beladiri karate.

Otak cerdas, tidak layak membuat kita bergantung pada otak kita. Cukup dengan kepleset menginjak kulit pisang kemudian terjatuh dengan kepala bagian belakang membentur tembok, bisa geger otak, koma, bahkan mati.

Semakin kita bergantung pada sesuatu, semakin diperbudak. Oleh karena itu, para istri jangan terlalu bergantung pada suami. Karena suami bukanlah pemberi rizki, suami hanya salah satu jalan rizki dari Allah, suami setiap saat bisa tidak berdaya. Suami pergi ke kantor, maka hendaknya istri menitipkannya kepada Allah.

"Wahai Allah, Engkaulah penguasa suami saya. Titip matanya agar terkendali, titip hartanya andai ada jatah rizki yang halal berkah bagi kami, tuntun supaya ia bisa ikhtiar di jalan-Mu, hingga berjumpa dengan keadaan jatah rizkinya yang barokah, tapi kalau tidak ada jatah rizkinya, tolong diadakan ya Allah, karena Engkaulah yang Maha Pembuka dan Penutup rizki, jadikan pekerjaannya menjadi amal shaleh."

Insya Allah suami pergi bekerja di back up oleh doa sang istri, subhanallah. Sebuah keluarga yang sungguh-sungguh menyandarkan dirinya hanya kepada Allah. "Wamayatawakkalalallah fahuwa hasbu"

وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْراً

“Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS. At Thalaq [65] : 3).

Yang hatinya bulat tanpa ada celah, tanpa ada retak, tanpa ada lubang sedikit pun ; Bulat, total, penuh, hatinya hanya kepada Allah, maka bakal dicukupi segala kebutuhannya. Allah Maha Pencemburu pada hambanya yang bergantung kepada makhluk, apalagi bergantung pada benda-benda mati. Mana mungkin? Sedangkan setiap makhluk ada dalam kekuasaan Allah. "Innallaaha ala kulli sai in kadir".

Oleh karena itu, harus bagi kita untuk terus menerus meminimalkan penggantungan. Karena makin banyak bergantung, siap-siap saja makin banyak kecewa. Sebab yang kita gantungi, "Lahaula wala quwata illa billaah" (tiada daya dan kekuatan yang dimilikinya kecuali atas kehendak Allah). Maka, sudah seharusnya hanya kepada Allah sajalah kita menggantungkan, kita menyandarkan segala sesuatu, dan sekali-kali tidak kepada yang lain, itulah TAUHID.*
Penulis staf pengajar di Ponpes. Darut Tauhid, Malang- Jawa timur

Kekuatan dibalik kesederhanaan

         dakwatuna.comPoin lain dari sepuluh hikmah kesederhanaan Mekkah adalah tidak ada pemerintahan terpusat, ini yang ketiga. Yang ada hanyalah sebuah majelis yang terdiri dari 10 dewan yang mewakili 10 suku Arab seperti demokrasi. Dan masih ada beberapa sistem sosial politik buatan mereka sendiri yang pada dasarnya mempunyai sisi kebaikan. Misalnya sistem Jiwâr, saat seseorang menjamin keselamatan yang lain. Sehingga jika yang terjamin itu diganggu maka ia akan menghadapinya. Rasulullah memanfaatkan sistem ini untuk kepentingan dakwah Islam, sehingga beliau mengambil Mut’im bin Adiy yang kafir untuk menjamin keselamatannya. Namun partisipasi Rasulullah ini bukan tanpa batas. Selama semua sistem buatan manusia itu tidak merangsek pagar halaman Islam, Rasulullah memanfaatkannya.
         Keempat, orisinalitas bahasa Arab. Mengapa bahasa Arab yang dipilih Allah? padahal saat itu ia adalah bahasa yang paling sedikit digunakan dibanding bahasa-bahasa besar dunia, seperti latin, atau Persia, atau Cina, atau India. Karena Allah-lah yang Maha Tahu bahwa d sana ada landasan kokoh untuk menampung bangunan keilmuan masa depan, bahkan akan dipakai hingga hari kiamat dan di akhirat nanti.
Bahasa Arab mempunyai daya kalimat yang sangat tinggi, sehingga ia terungkap dalam beberapa kata namun berarti beberapa jilid buku. Ia memiliki probabilitas penggunaan kalimat sangat luas. Misal, ada 500 kata untuk menamai ‘singa’, 1000 kata untuk ‘pedang’, atau 4000 kata untuk ‘cerdas’. Dengan kekokohan bahasa ini, Qur’an menjelaskan seluruh persoalan hidup manusia dengan kosa kata yang tepat, sangat singkat, tapi akan pernah habis tinta samudera menulis makna-maknanya.
          Dan penduduk Mekkah-lah pengguna terkuat bahasa Arab saat itu. Sehingga orang-orang kafir Quraisy sangat hati-hati untuk tidak mendengar Qur’an. Karena mereka faham mukjizatnya, mereka tidak akan mampu menahan hatinya agar tidak melayang saat mendengarnya. Karena bahasa Arab, mereka paham, bahkan mereka yakin bahwa Qur’an itu bukan karya manusia. Seribu penyair mereka pun tidak mampu menjawab tantangan Qur’an untuk membuat semisalnya.
          Kelima, dakwah kepada yang terdekat. Persaudaraan Islam adalah persaudaraan keyakinan, bukan ras dan daerah. Penduduk bumi telah lupa bahwa hidup punya pencipta. Semuanya lupa dan melupakan, kecuali penduduk Mekkah. Mereka sadar itu, karena ”jika engkau bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan mereka? Niscaya mereka menjawab, Allah, jadi bagaimana mereka dapat dipalingkan” [az-Zukhr: 87].
          Jika aqidah itu terbagi menjadi tiga, yaitu yakin dengan pencipta [tauhid rububiyah], hanya menyembah pencipta yang satu [tauhid Uluhiyah] dan yakin dengan kesempurnaan sifat pencipta [tauhid asma wa shifat], maka masyarakat Mekkah masih mempunyai yang pertama. Itulah sebabnya mereka lebih diprioritaskan untuk didakwahi, karena hati mereka lebih mungkin menerima kebenaran Islam dibanding masyarakat ateis.
          Yang menjadi masalah adalah pemahamannya. Saat mereka tidak beribadah kepada Allah, tapi kepada berhala, kepada materi, kepada dunia, sembari berkata, “kami tidak menyembah mereka melainkan agar mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya” [az-Zumar: 3].
Keenam hingga kesepuluh: adalah karakter bawaan mereka. Karakter paling dasar penduduk Mekkah adalah jujur, dermawan, pemberani, harga diri, dan sabar. Karakter-karakter itu adalah hasil didikan lingkungan dan tradisi mereka. Sehingga saat Abu Sufyan yang masih kafir ditanya Heraklius tentang pribadi Muhammad, harga dirinya melarangnya berbohong. Ia malah menjadi juru bicara penyampai risalah Islam, hingga ia berkata, “demi Allah, kalau saja aku berbohong, orang-orang tidak akan lagi menganggapku”.
Penduduk Mekkah tidak pernah menghitung untung rugi demi menjamu tamu, atau mendukung pemikiran yang mereka yakini dengan mengorbankan seluruh emas, rumah, bahkan recehan terkecil. Lelaki mereka tidak sudi mati di atas permadani, dan berbangga jika bersakit luka dalam perang. Bahkan hingga kematian menjemput, mereka tetap bersyair atas kebanggaan akan mati di sana. Mereka tidak menerima hidup dalam kehinaan. Jika harga diri salah seorang dari suku mereka terkoyak, puluhan tahun peperangan pun siap dikobarkan demi membelanya. Dan mereka adalah manusia-manusia yang paling tahan terhadap ujian hidup. Mereka sabar saat fakir, lapar, sakit dan penantian. Alam mereka menuntut mereka untuk tumbuh seperti itu. Walau terkadang karakter-karakter bawaan itu terjun ke jurang kehancuran. Saat dermawan menjadi boros, berani menjadi beringas dan ceroboh, harga diri menjadi sombong, dan sabar menjadi lamban.
Tapi saat Islam mewarnai jiwa mereka, terciptalah kesempurnaan antara ambivalensi sifat itu dengan arahan-arahan yang moderat. Sehingga muncullah pahlawan-pahlawan seperti dalam mitos. Abu Bakar dan Utsman yang berkali-kali kaya dari bisnisnya lalu berkali-kali memulai lagi dari nol setelah mereka berinfak. Atau Khalid yang lantang menantang Kisra Persia, “anda sedang menghadapi pasukan yang sangat mencintai kematian seperti anda mencintai hidup”, tapi ia tetap rasional dalam berstrategi seperti dalam perang Mu’tah. Atau seperti harga diri Rasul dan sahabat di Madinah yang menggelar Fathu Makkah, karena kafir Quraisy menodai perjanjian Hudaibiyah. Dan kesabaran mereka teruji sejak masa penindasan pembesar Quraisy hingga perang Ahzab.
          Semua karakter alami Mekkah ini mengajarkan kaidah-kaidah membangun umat Islam saat ini dan masa depan. Bahwa umat harus menjaga orisinalitas sumber agamanya [Qur’an dan Sunnah] dari tuduhan dan penodaan; bahwa Allah-lah yang mutlak memberikan kemenangan-kemenangan gemilang Islam walau umat dalam jumlah yang sedikit; bahwa umat Islam boleh memanfaatkan sistem-sistem sosial-politik buatan manusia yang ada selama tidak menyentuh batas aqidah dan syariah; bahwa generasi pemegang kendali kepemimpinan masa depan adalah generasi yang menguasai bahasa Arab sehingga mereka memahami inti Islam dan menancapkan pemahaman itu hingga ke setiap pori-pori jasadnya untuk bergerak; bahwa dakwah dimulai dari yang terdekat dengan fikrah Islam; bahwa generasi baru Islam tidak akan bangkit kecuali kejujuran, keberanian, pengorbanan, harga diri, dan kesabaran tertancap kuat dan menjadi karakter dasar hidup mereka. Inilah sepuluh hikmah kesederhanaan Mekkah yang menjadi kekuatan Islam.

Rabu, 01 Februari 2012

_Persahabatan yang sesungguhnya_



Bismillah...


Semenjak manusia dilahirkan ke muka bumi, tidak akan pernah 
terlepas dari bantuan pihak kedua. Maka selama hayat masih dikandung badan, 
manusia tidak akan pernah terlepas dari interaksi dengan orang lain. Dalam buku 
psikologi karangan Dr. Umar Muhammad At-Taumi Asy-Syaibani, beliau menyebutkan 
selama manusia menjalani roda kehidupan akan selalu berinteraksi dengan 
lingkungan, dimana dan kapanpun itu. Sehingga setiap manusia mempunyai aspek 
mempengaruhi dan dipengaruhi terhadap lingkungan dimanapun ia berada. 
Dampaknya, manusia bisa menjadi baik karena lingkungan, dan bisa menjadi rusak 
juga dikarenakan factor lingkungan.


      Salah satu unsur dalam menjaga agar manusia mampu berinteraksi baik 
dengan lingkungan, adalah persahabatan. Dalam banyak hal, sahabat yang menjadi 
teman kita mempunyai peranan dalam membentuk pola kehidupan dan berpikir kita. 
Maka, oleh karena itu, kita harus dapat mencari dan menjaga persahabatan yang 
baik sesuai dengan tuntunan Al-Qur'an As-Sunnah. 
Akan tetapi, kita sering salah dalam memahami makna kata sahabat.
Terkadang dalam memahami sahabat, kita lebih banyak memandangnya dari kaca mata
duniawi atau materi. Namun seandainya terdapat kekuatan yang dapat
menggabungkan antara hubungan duniawi yang menjadi perantara menuju kehidupan
abadi di akherat, maka persahabatan tersebut akan menjadi begitu indah dalam
menghiasi catatan perjalanan kehidupan kita. Karena dengan persahabatan yang
indah, kita dapat saling nasehat dan menasehati. Jadi dengan adanya budaya
saling nasehat menasehati, Insya Allah kehidupan kita akan senantiasa selalu
dalam naungan dan Ridha Allah Subhanahu Wata'ala.

Dalam syair arab dikatakan, bahwa sahabat yang sejati adalah sahabat yang 
mampu membuat kita menangis, bukan sahabat yang membuat kita tertawa. 
Dalam ungkapan tersebut ada dua hal yang perlu kita pahami maknanya, 
sehingga tidak terjebak oleh distorsi bahasa dalam aplikasi kehidupan 
bersosialisasi dengan lingkungan tempat kita berada.
Pertama - sahabat yang sejati adalah sahabat yang mampu membuat kita 
menangis. Dalam hal ini yang perlu digaris bawahi adalah kata menangis.
Menangis disini bukan berarti mengeluarkan air mata. Namun makna menangis 
disini adalah, bagaimana seorang sahabat dapat dan mampu memberikan kesadaran 
kepada kita bahwa kehidupan  didunia ini hanyalah sementara. Sehingga dikala 
kita lalai pentingnya menjalankan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari, 
sahabat tersebut dapat memberikan nasehat untuk mengingatkan. Dalam hal ini
yang perlu kita perhatikan adalah, lihatlah apa yang dikatakan (nasehat yang 
baik), tapi jangan melihat kepada siapa yang mengatakan. Maksudnya adalah,
siapapun yang memberikan nasehat yang baik, kita harus menerimanya dengan 
lapang dada. Kita jangan terlalu mempermasalahkan siapa yang memberikan nasehat 
tersebut. Karena yang memberikan nasehat tersebut bisa jadi orangnya lebih 
kecil dari yang meneriama nasehat tersebut.
   Kedua, adalah . bukan sahabat yang membuat kita tertawa. Pemahaman kata 
tertawa disini  bukanlah tertawa seperti layaknya kita tertawa. Namun kandungan 
maknanya adalah ketika kita sedang ditimpa penyakit cinta dunia sehingga 
membuat kita lalai dengan godaan hawa nafsu duniawi, ketika itu teman yang ada 
di sekitar kita tidak dapat memberikan sebuah penyadaran. Namun justru ikut 
terbuai bersama dengan adanya godaan duniawi yang melalaikan tersebut. 


      Dalam realita kehidupan, banyak sekali kita dapati ketika seseorang 
memberikan sebuah nasehat atau ajakan terhadap sebuah kebaikan dalam panduan 
syariat agama Islam (Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Shalallhu 'Alaihi Wasallam 
) ia anggap itu sebuah angin lalu, atau bahkan ia anggap itu tidak penting 
dalam kehidupannya. Bahkan kita menyikapinya dengan dingin akan nasehat dan 
ajakan kebaikan teman tersebut. Karena ia merasa tidak akan mendapatkan 
kepuasan duniawi. Dalam hal ini  kita telah terjebak akan kepuasan hawa nafsu 
duniawi. Namun sebaliknya, jikalau ada seorang teman yang mengajaknya kepada 
hal-hal yang dilarang oleh syariat islam, atau memberikan kepuasan hawa nafsu 
dengan bermacam godaan duniawi,  tanpa pikir panjang, hal ini langsung 
ditanggapin, dan untuk  kelompok terakhir ini lebih banyak dan lebih cepat 
untuk mendapatkan pengikutnya. Karena ia merasa mendapatkan kepuasan yang 
dirasakan dalam kehidupan duniawi. 


Hal ini banyak sekali kita dapatkan dalam kehidupan sehari-hari. Contoh 
yang paling gampang adalah dalam kehidupan sehari-hari kita. Sebagai pemeluk 
agama Islam, kita diwajibkan untuk mendirikan sholat lima kali dalam sehari. 
Namun dalam mendirikan shalat tersebut terkadang kita sering menyepelekan atau 
menganggap remeh. Kita lebih mendahulukan kehidupan duniawi dikala datangnya 
waktu sholat. Sehingga betapa banyak diantara kita yang tanpa sengaja telah 
melalaikan shalat. Oleh karena itu, marilah kita lihat kembali apa yang telah 
difirmankan oleh Allah dalam surat Al-Ma'un ayat 4-5 yang artinya "Maka 
celakalah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari 
shalatnya,". Dalam Qur'an terjemahan terbitan Al-Huda (Kelompok Gema Insani) 
kata lalai berarti orang-orang yang tidak menghargai serta melalaikan 
pelaksanaan waktu-waktu sholat. 


Coba apa yang kita lakukan dikala waktu sholat datang ? 


Ketika itu terdapat sebuah tayangan bagus yang ada di layar televisi?, 


atau pada waktu yang bersamaan, kita diasyikkan dengan jual beli di pasar atau swalayan atau mall ?, atau 


pada waktu yang bersamaan kita sedang dipanggil oleh atasan kerja kita?


      Dalam menjaga persahabatan dengan siapapun, ada beberapa hal yang harus 
kita perhatikan, sehingga tidak merusak hubungan persahabatan atau 
persaudaraan. Karena dalam Al-Qur'an surat Al-Hujurat ayat 10 yang artinya 
"Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah 
antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat 
Rahmat."

      Perkara-perkara yang dapat merusak hubungan persaudaraan diantaranya adalah:


      1. Tamak dan rakus terhadap kepuasana duniawi.


      Dalam hal ini, Rasulullah -Shalallahu 'Alaihi Wasallam- bersabda yang
diriwayatkan oleh Ibnu Majjah, yang artinya " Zuhudlah terhadap dunia, maka
Allah akan mencintai kamu. Zuhudlah terhadap apa yang dimiliki oleh manusia,
maka mereka akan mencintai kamu".


      Betapa banyak kita dapati dalam realita kehidupan, bahwa dua orang atau
lebih dapat bertikai dikarenakan harta duniawi, bahkan sampai merenggut nyawa.
Kenapa hal itu dapat terjadi? Pertama, karena satu sama lain saling merasa
tidak puas dengan harta yang telah dimilikinya. Kedua, karena manusia telah
menjadi budak hawa nafsu yang dimotori oleh syaitan.


      Ibnu Qayyim mengatakan bahwa apabila kamu tertimpa musibah, maka mintalah 
musyawarah kepada saudaramu dan jangan meminta apa yang engkau perlukan. Sebab 
jika saudara atau temanmu itu memahami keadaanmu, ia akan terketuk dan terbuka 
hatinya untuk menolongmu, tanpa harus meminta atau meneteskan airmata.


Hal serupa juga diungkapakan oleh Dr. Abdussalam Abdullah Jaqandi dalam bukunya
Mursyid Ad-Du'at Wal-Mu'allimin fi At-Tarbiyati wa 'Ilmi An-Nafsi, bahwa setiap 
manusia dikatakan sukses dalam melakukan hubungan interkasi social ketika ia 
dapat memahami akan keluhan yang dialami oleh saudaranya dan ia berusaha 
mencarikan jalan keluarnya.


      Sebuah syair arab menjelaskan bahwa dalam masalah kepuasan duniawi maka
lihatlah kepada orang ada dibawah kita taraf ekonominya, sehingga dengan
demikian dalam diri kita akan timbul rasa kepuasan terhadap apa yang telah
dimiliki. Apabila telah memilki rasa kepuasan, maka kita akan dapat mensyukuri
nikmat yang telah dianugerahkan Allah kepada kita. Akan tetapi untuk masalah
kebaikan (ibadah, pendidikan), yang harus dijadikan barometer adalah orang yang
lebih bagus dari kita kwalitasnya. Karena dengan demikian, kita akan terus
berlomba-lomba agar menjadi lebih baik dari hari ke hari.




      2.    Maksiat Dan Meremehkan Ketaatan. 

      Apabila dalam menjalani kehidupan dihiasi dengan zikir dan ibadah serta 
membudayakan nuansa saling nasehat menasehati, maka betapa indahnya kehidupan 
yang kita jalani. Hal ini dapat kita lihat Firman Allah dalam Surat Al-'Ashr 
ayat 2-3 yang artinya "Sungguh manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali 
orang-orang  yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasehat menasehati 
supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati untuk kesabaran".

      Akan tetapi jika yang terjadi adalah sebaliknya, berarti pergaualan yang 
kita bangun tersebut menjadi gersang. Hal ini terjadi karena hati telah menjadi 
keras sehingga membuka pintu kejahatan dan kelalaian. 

      Ibnu Al-Qayyim dalam bukunya Al-Jawaabul Kafii, mengatakan bahwasanya 
perbuatan maksiat yang diperbuat oleh manusia akan mengakibatkan rasa gelisah 
pada dirinya, sehingga menimbulkan rasa takut dan sedih. Sehingga ia akan 
merasa takut dan gelisah untuk atau ketika bertemu dengan saudara-saudaranya.

      Kalau kita mau memperhatikan sejenak, kebanyakan diantara para pelaku 
kemaksiatan dan kemungkaran dalam menjalani persahabatan yang mereka bangun 
bukanlah atas dasar ketakwaan. Akan tetapi landasan yang mereka bangun adalah 
atas dasar kepuasan dan materi yang terlihat secara kasat mata dalam kaca  mata 
duniawi, sehingga akibtnya adalah kacamata yang mereka bangun tersebut alkan 
mudah retka dan pecah. Itulah pangkal dan penyebab dari segala macam pertikaian 
dan permusuhan. Namun tanpa disadari, sesungguhnya hal tersebut akan menjadi 
beban yang akan dipikulnya pada hari Pembalasan yang maha adil.

      Dalam surat Az-Zukhruf ayat 67 Allah berfirman yang artinya :" Pada hari 
itu sahabat-sahabat karib: Setengahnya akan menjadi musuh kepada setengahnya 
yang lain, kecuali orang-orang yang persahabatannya berdasarkan takwa ( iman 
dan amal soleh )."

      Sedangkan persahabatan yang dibangun karena Allah, persahabatan tersebut 
akan terus berkelanjutan sampai di syurga, dalam hal ini Allah berfirman dalam 
Surat Al-Hijir ayat 45 yang artinya " Dan Kami cabut akan apa yang ada di hati 
mereka dari perasaan hasad dan dengki sehingga menjadilah mereka bersaudara
( dalam suasana kasih mesra ), serta mereka duduk berhadap-hadapan di atas 
pelamin masing-masing. " 

      3.   Tidak menggunakan tata krama yang baik dalam berbicara.

      Ketika berbicara dengan orang lain haruslah menggunakan tata krama yang 
baik dan sopan, serta juga harus mengenal karakteristik lawan bicara. Karena 
suatu permasalahan bermula karena salah dalam bertutur kata dan menyakitkan 
hati lawan bicara.  Sehingga ada sebuah ungkapan bahwa lidah itu lebih tajam 
dibanding dengan sebilah pedang.  Al-Qur'an telah mengajarkan kepada kita agar 
menggunakan tata karma yang baik dalam berbicara sebagaimana firman Allah dalam 
Surat Al-Isra ayat 53 yang artinya: " Dan katakanlah kepada hamba-hambaKu: 
Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya 
syaitan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya syetan itu 
adalah musuh yang nyata bagi manusia."

      Dalam berbicara dengan orang lain, maka hindarilah melakukan bisik-bisik 
dihadapan muka umum. Karena berbisik-bisik dimana orang lain banyak menyaksikan 
akan dapat menimbulkan fitnah. Sehingga banyak sekali orang yang menganggap 
bahwa berbisik itu merupakan hal remeh, namun justru hal itulah yang 
menyebabkan orang bisa bertikai dan berburuk sangka terhadap yang 
berbisik-bisik. Rasulullah dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari 
dan Muslim yang artinya: "Jika kalian bertiga, maka janganlah dua orang 
diantaranya berbisik-bisik tanpa mengajak orang yang ketiga karena itu akan 
dapat menyebabkannya bersedih.". dalam hal ini para ulama telah menyepakati 
bahwa hendaklah kita menghindari dari perbuatan berbisik-bisik, karena hal itu 
akan membuka pintu bagi syetan untuk menghasut satu diantar yang lainnya.


      Allah wa Rasuluh A'lam Bi Ash-Shawab.